
Hidup tidak pernah lepas dari ujian. Kadang terasa seperti medan perang yang penuh tekanan dan kebimbangan. Bukan peperangan dengan pedang atau peluru, tapi pertempuran batin: melawan rasa takut, malas, dan godaan untuk menyerah.
Dalam pengajian rutin Malam Kamis yang membahas Tafsir Jalalain, dua ayat dari Surat Al-Anfal (ayat 45–46) menjadi sorotan. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang perang fisik di masa Nabi ﷺ, tetapi juga menjadi panduan abadi bagi siapa pun yang ingin meraih kemenangan dalam hidup—baik di medan perjuangan, pekerjaan, maupun dalam menjaga hati.
Dua Bekal Menghadapi “Musuh” (Ayat 45)
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu telah bertemu dengan sekelompok (musuh), maka teguhkanlah hatimu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Anfal: 45)
Dari ayat ini, para ulama menjelaskan dua bekal utama untuk menghadapi segala bentuk tantangan.
- Teguh Hati (Faṡbutū)
Perintah untuk teguh hati bukan sekadar ajakan untuk berani, melainkan agar kita tidak mudah gentar menghadapi ujian. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang gagal bukan karena tak mampu, tapi karena terlalu cepat goyah. Keteguhan hati berarti tetap berpegang pada prinsip, meski keadaan tidak selalu berpihak. Orang yang teguh hati tidak mudah terseret arus opini atau keadaan; ia berjalan dengan keyakinan, bukan keraguan.
- Dzikir dan Doa (Ważkurullāha Kaṡīrā)
Setelah perintah untuk teguh, Allah memerintahkan agar banyak mengingat-Nya. Sebab keteguhan tanpa dzikir hanya melahirkan kesombongan. Zikir menjaga hati tetap tenang, sementara doa menjadi jembatan pertolongan. Rasulullah ﷺ sendiri dalam Perang Badar mengangkat tangan tinggi-tinggi memohon pertolongan kepada Allah, hingga lengan bajunya tersingkap. Begitulah keyakinan seorang mukmin: kekuatan sejati bukan di tangan, tapi di hati yang selalu terhubung dengan Tuhannya.
Dalam kajian disebutkan, doa yang kuat lahir dari hati yang bersih. Maka, makanan yang halal dan rezeki yang jujur menjadi syarat penting agar doa tidak tertolak. Sebab, sebagaimana disabdakan Nabi, “Bagaimana doa dikabulkan, sementara makanannya haram?” Inilah rahasia “tajamnya” doa orang-orang saleh.
Tiga Pilar Mempertahankan Kekuatan (Ayat 46)
Allah kemudian berfirman:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu gentar dan hilang kekuatanmu. Bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)
Ayat ini adalah lanjutan dari strategi kemenangan. Bukan lagi bagaimana menghadapi musuh, tapi bagaimana menjaga kekuatan agar tidak pudar.
- Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Ketaatan adalah fondasi ketertiban dan keberkahan. Tanpa ketaatan, semua perjuangan mudah berubah arah. Dalam konteks sosial, ketaatan ini bisa berarti patuh pada nilai-nilai kebenaran, mendengarkan nasihat ulama, dan mengikuti petunjuk yang membawa maslahat. Orang yang taat tidak mudah diseret hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
- Menjauhi Perpecahan (Wa Lā Tanāza’ū)
Allah melarang keras umat Islam untuk saling berbantah dan berpecah belah. Sebab, kata Allah, akibatnya jelas: “kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang.” Dalam Tafsir Jalalain, istilah rīḥukum diartikan sebagai kekuatan, pengaruh, atau kewibawaan. Artinya, ketika umat Islam saling menjatuhkan, kekuatan spiritual dan moralnya pun hilang. Perselisihan kecil bisa menjadi pintu masuk kehancuran besar. Padahal, kerukunan adalah pintu turunnya rahmat Allah, sedangkan perpecahan menutupnya rapat-rapat.
- Bersabar (Waṣbirū)
Menjaga ketaatan dan persatuan jelas tidak mudah. Karena itu, Allah menutup ayat ini dengan perintah sabar. Sabar bukan diam, tapi kemampuan menahan diri agar tidak tergelincir dalam amarah dan keputusasaan. Dalam setiap perjuangan, sabar adalah bahan bakar yang menjaga langkah tetap lurus. Luqmanul Hakim pernah berpesan kepada anaknya: “Bersabarlah atas apa yang menimpamu.” Itu pesan yang sederhana, tapi berat dijalani tanpa iman.
Penutup: Kemenangan yang Sesungguhnya
Dari dua ayat ini kita belajar bahwa kemenangan tidak hanya milik mereka yang kuat secara fisik, tapi bagi siapa pun yang mampu mengendalikan diri, menjaga hati, dan tetap bersatu dalam kebaikan. Kemenangan sejati adalah saat seseorang berhasil menaklukkan hawa nafsunya sendiri.
Kajian ini mengingatkan kita: pertempuran terbesar bukanlah di medan perang, tapi di dalam diri—melawan rasa gentar, keangkuhan, dan keinginan untuk berpecah. Mereka yang mampu menaklukkan tiga hal itu, insyaAllah, akan meraih kemenangan yang hakiki: kemenangan yang abadi di sisi Allah.